Tumenggung Surapati (Belanda:Tumengung Suro-patty) atau Kiayi Dipati
Jaya Raja atau Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat :
1875, Kalimantan Tengah) adalah seorang kepala suku Dayak yang menjadi
panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang
Banjar. Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan
sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang
sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada
kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan
Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian diasingkan
ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha
(wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai). Ngabe (ngabehi) adalah
salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe
Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu
riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe Tuha,
Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak perempuan
bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit,
perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Jidan. Seorang
cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Jidan
sehingga ia kemudian mendapat gelar Raden Dipati Mangku Negara.
Mendirikan Pagustian
Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan
pimpinan Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari dibantu Anak-anak
Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Mereka membangun sebuah
Pagustian atau pemerintahan terdiri dari gusti-gusti yang terletak di
Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini
dibantu oleh Gusti Mat Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan
lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung
Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi
benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat
dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi
serangan Tumenggung Surapati ini Belanda bersama orang Dayak Sihong
(suku Maanyan) yang selama ini membantu Belanda di bawah pimpinan kepala
sukunya Suta Ono dan di sisi ([suku dayak ngaju]) kepala sukunya
adalah Temanggung Nikodemus Ambo Jaya Negara membantu Belanda
memadamkan perlawanan temanggung surapati. Karena jasa-jasanya terhadap
Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel) dan diberi
penghormatan bintang Singa Belanda adalah pengahargaan tertinggi atas
keberanian. Dayak Sihong ini terkenal pemberani, dan tetap memiliki
ketetapan hati kepada agama leluhur yang dianutnya yaitu Kaharingan.
Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan
selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai
Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir Barito di sekitar Distrik
Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu Barito di sekitar Manawing,
sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat
dilakukan pihak Belanda untuk menangkap Tumenggung Surapati hidup atau
mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang
bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan fisiknya yang memang sudah
tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah
mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875
Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena
sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati meneruskan
perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin Pangeran
Antasari. Kalau keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang
ke Bogor (Jawa Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap
dibuang ke Bengkulu, Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar